top of page

Sejarah Gereja Santo Antonius Kotabaru

  • Anom Parikesit
  • Oct 12, 2017
  • 3 min read

Kotabaru didirikan pada sekitar tahun 1919 sebagai kawasan hunian bagi orang-orang Belanda. Mayoritas penduduk Kotabaru waktu itu merupakan penganut Kristen Protestan sebagaimana agama mayoritas Kerajaan Belanda sedangkan penganut Katholik adalah minoritas. Pada mulanya, Kotabaru hanya memiliki sebuah Gereja Kristen Protestan yang dikenal dengan nama Gereformeede Kerk (Gereja HKBP-sekarang). Pada waktu itu, Umat Katholik di Kotabaru hanya dapat mengadakan ibadah secara rutin di rumah PJ Perquin, seorang Direktur Museum Arkeologi (rumahnya berada di depan Masjid Syuhada sekarang) (Setyastuti 2003, 157)

Perintis pendirian gereja ini adalah Romo F. Strater SJ, dan diberi nama Gereja Santo Antonius van Padua (Sekarang Gereja Santo Antonius Kotabaru). Pembangunannya dilaksanakan oleh Biro Arsitek Hulswit Fermont en Cuyper. Sebelum dibangun gereja ini, Kolese St. Ignatius terlebih dahulu dibangun bersama dengan seminari tinggi yang pembangunannya diprakarsai oleh Romo Strater. (Gereja dan Masyarakat: Sejarah Perkembangan Gereja Katolik Yogyakarta 1995, 37) Ada fakta menarik dibalik pembangunan Gereja ini yaitu walaupun mayoritas Orang-Orang Belanda yang tinggal di Kotabaru merupakan penganut Kristen Protestan, Gereja Katholik Santo Antonius tetap dapat dibangun bahkan ukurannya lebih besar daripada gereja sebelumnya. Hal ini terjadi karena kedekatan antara Romo Strater dengan PJ Perquin.


Pada awal berdirinya, Gereja Santo Antonius Kotabaru masih menjadi satu stasi dengan Gereja Kidul Loji hingga tahun 1933. Hal ini terjadi karena jumlah umat khatolik di Kotabaru waktu itu masih sedikit. Namun seiring dengan perkembangannya, jumlah umat khatolik yang berdatangan semakin banyak dan akhirnya sejak 1 Januari 1934 menjadi paroki yang berdiri sendiri di Kawasan Kotabaru hingga sekarang. (Gereja dan Masyarakat: Sejarah Perkembangan Gereja Katolik Yogyakarta 1995, 38)


Menurut Romo Danang Bramastya, Pastor Paroki Gereja Kotabaru, arsitektur Gereja Kotabaru lebih kental dengan nuansa Eropa apabila dibandingkan dengan Gereja-Gereja khatolik lainnya. Sebagai contoh, Gereja Bintaran dan Gereja Pugeran yang lebih terkesan mulai ber-akulturasi dengan budaya lokal. Hal itu terjadi karena wilayah Kotabaru dibangun untuk para direktur dan para pegawai tinggi dari Belanda yang datang dan tinggal bersama keluarganya di Yogyakarta.


Wabah malaria, pes dan kolera yang menyerang Kotabaru menjadi salah satu faktor berdirinya rumah – rumah dan bangunan termasuk gereja sebagai bangunan keagamaan yang didesain asri dan sehat dengan vegetasi berupa pohon – pohon perindang, buah – buahan, serta bunga yang baunya harum. Pohon – pohon ini ditanam baik di halaman rumah, sepanjang jalan serta di boulevard. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli dibangunlah rumah – rumah bergaya Eropa dan memiliki konsep “Garden City” dan gerejanya pun dibangun mengikuti arsitektur rumah – rumah yang ada (Setyastuti 2003, 155) Rumah – rumah dengan konsep Garden City dijamin sehat, akan tetapi jauh dari kesan indah. Konsep Garden City kemudian mulai berubah semenjak kedatangan istri-istri para petinggi pabrik gula dari Eropa yang lebih menyukai rumah dengan arsitektur Eropa Modern.

Interior Gereja sendiri cukup menarik, tiang – tiangnya terbuat dari semen cor sebanyak 16 buah dengan altar di bagian barat. Saat ini terdapat penambahan lukisan – lukisan dinding bernuansa keagamaan pada tembok lengkung di depan ruang altar. Lukisan ini menggambarkan Yesus yang sedang membaur dengan masyarakat, khususnya masyarakat Jawa karena dalam lukisan tersebut menggambarkan keseharian masyarakat Jawa yang menggunakan kain Jarik dan Kebaya. Di sisi selatan terdapat ruang untuk mempersiapkan upacara, dan tempat menyimpan alat – alat upacara dimana didalamnya terdapat lampu – lampu kuna dan cawan kuna yang berasal dari tahun 1922. (Setyastuti 2003, 158)


Pada masa penjajahan Jepang, gedung gereja beralih fungsi menjadi gudang senjata dan basis militer (Gereja dan Masyarakat: Sejarah Perkembangan Gereja Katolik Yogyakarta 1995, 38) Banyak patung – patung Santo Yesuit yang dibakar oleh tentara Jepang. Setelah Jepang dikalahkan oleh sekutu, gedung gereja digunakan sebagai markas militer Amerika Serikat. Gereja berhasil direbut kembali oleh para pejuang pada masa kemerdekaan dan akhirnya dikembalikan fungsinya menjadi tempat beribadah, dalam hal ini para Imam Yesuit, bagi umat khatolik. Dan setelah pengakuan kemerdekaan pada tahun 1945 keadaan kembali normal seperti semula.

Daftar Pustaka

  1. Ari Setyastuti, DRA, dkk. 2003. Mosaik Pusaka Budaya Yogyakarta. Yogyakarta: Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta.

  2. Jan Weitjens SJ, DR, dkk. 1995. Gereja dan Masyarakat: Sejarah Perkembangan Gereja Katolik Yogyakarta. Yogyakarta.

Comments


featured posts

search by  categories

Follow me

  • Black Twitter Icon
  • Black Facebook Icon
  • Black Google+ Icon
  • Black Instagram Icon

visitor reach

Jangan Lewatkan Tulisan-Tulisan Menarik Lainnya.

Subscribe Sekarang!!!

bottom of page