top of page

Bali dan Banyak Alasan Untuk Kembali

  • Anom Parikesit
  • Jul 31, 2017
  • 8 min read

Liburan Folk no Indie

What’s up, what’s down. Setelah sekian lama menghilang dan tidak menulis rasanya hati, pikiran serta tangan ini tidak sabar untuk berbagi dengan khalayak diluar sana. Banyak hal – hal yang sebenarnya saya lewati, mulai dari menemukan tempat – tempat baru, bahkan liburan ke Malang yang saya janjikan beberapa bulan lalu juga belom ditulis ya. Hmmm… tapi ternyata kemarin saya baru saja mengalami liburan yang tak kalah menyenangkan. Jadi ya saya mungkin akan membagikan pengalaman saya soal cerita liburan yang kemarin saja. Kali ini akan ada bonus Itinerary dengan budget backpacker untuk menjelajah sebuah kota dengan suasana, alam, dan orang – orang yang luar biasa. Cekidot lah.


Liburan, kata yang paling ditunggu mahasiswa tingkat menengah setelah berjibaku dalam dunia perkuliahan yang penuh hiruk pikuk main serong kanan kiri. Bahkan mungkin, tidak hanya mahasiswa, semua lapisan manusia membutuhkan liburan untuk sejenak pergi dari rutinitas pekerjaan. Pada dasarnya manusia memang diciptakan untuk terus bergerak, ya liburan ini bisa dibilang sebagai salah satu cara manusia bergerak. Bergerak mencari suasana baru untuk menenangkan pikiran dan lepas dari rutinitas, atau bisa dibilang refreshing. Tidak terkecuali saya. Bali merupakan tempat yang terlintas pertama kali ketika memikirkan agenda liburan semesteran ini. Plan awalnya sih ke Bali tapi ternyata di kota – kota yang saya lewatin tidak kalah menawarkan berbagai hiburan mulai dari tingkat merakyat hingga berbiaya tinggi.


Sebelumnya bisa disimak Itinerary yang sudah disusun berdasarkan banyak refrensi dan pengalaman pribadi saya setelah beberapa kali mengunjungi Pulau Dewata. Rencana perjalanan ini awalnya disusun dengan budget backpacker dan menggunakan kendaraan motor untuk akomodasi disana. Namun, selama disana saya menggunakan mobil agar lebih mudah untuk mengakomodir 6 orang, alhasil banyak tempat yang miss atau tidak bisa dikunjungi selama di Bali. List dibawah ini sifatnya fleksibel dan bisa diubah sesuai selera. Tapi sebagian tempat wisata sangat recommended kalo ke Bali. Mungkin masih banyak yang lebih bagus tapi bisa dicoba di kemudian hari ketika kembali ke Bali.

Itinerary Bali

- Hari 1 ( Minggu, 9 Juli 2017) Legian, Kuta, Seminyak dan Canggu

1. Sate Babi Bawah Pohon – 15k sampai 20k/Orang

2. Pantai Batu Bolong – Parkir 5k/Mobil, 5k atau 10k/Orang aku lupa

3. Jalan di Legian Kuta – Gratis

4. Ngebeer sambil nyunset – Bintang paling 20k sampai 25k/botol

5. Malem istirahat setelah perjalanan panjang Jogja – Mojokerto – Bali.

- Ke Ubud (saran hari ke 2)

1. Makan Pagi Warung Indonesia – 10k sampai 25k/Orang (Ini warung makan pagi dengan harga termurah kalo stay di Legian)

2. Desa Adat Penglipuran – Parkir 5k/Mobil, Masuknya 15k/Orang

3. Campuhan Ridge Walk – Gratis.

4. Sacred Monkey Forest/Sangeh Monkey Forest – 50k/Orang kalo Sacred Monkey, tapi kayaknya lebih murah. 10k/Orang kalo Sangeh. Tapi lebih magis dan keren yang Sacred Monkey Forest.

5. Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku Bali – 25k sampai 50k/Orang

6. Goa Gajah – Parkir 5k/Mobil, Tiket masuknya 15k/Orang (Alternatif)

7. Pura Tirta Empul Tampak Siring – Parkir 5k/Mobil, Tiket masuk 15k/Orang (Alternatif)

8. Malem cari tempat ngopi.

- Ke Nusa Dua dan sekitarnya (saran hari ke 3)

1. Makan Pagi Warung Indonesia – 10k sampai 25k/Orang

2. Jalan Tol Bali Mandara – 4k/Motor, 10k/Mobil.

3. Garuda Wisnu Kencana – 70k/Mahasiswa

4. Pantai Gunung Payung – 4k/Orang, 2k/Motor, 5k/Mobil

5. Pura Luhur Uluwatu (Wajib) – 50k sampai 100k/Orang nonton Teater sambil sunset

6. Balik hotel. Malem Bebas

- Ke Kintamani & Bangli (saran hari ke 4)

1. Babi Guling Candra – 35k sampai 50k/Orang

2. Handaran Golf Club Gate – Gratis

3. Pura Ulun Danu Bratan – Parkir 5k/Mobil, 20k/Orang tiket masuknya

4. Kebun Raya Bali – 9k/Orang

5. Air Panas Toya Devasta – 50k/Orang

6. Balik hotel, makan malem bebas dah

- Ke Tabanan (saran hari ke 5)

1. Alas Kedaton – 10k/Orang (Alternatif)

2. Air Terjun Sing Sing Angin – 10k/Orang

3. Jatiluwih – 15k/Orang

4. Makan di Babi Guling Bu Suci Selingsing – 15k sampai 30k/Orang

5. Tanah Lot – Parkir 2k/Motor, 5k/Mobil, tiket masuk 20k/Orang

6. Double – Six Seminyak/ La Plancha – Minimal pesen 250k baru bisa duduk di kursi sambil nikmatin sunset

7. Balik Surabaya – Lanjut Malang

- Plan Cadangan

1. Ke Karangasem (ini backup aja)

2. Tenganan Pengrisingan – Parkir 5k/Mobil, Masuknya donasi 10k/Orang

3. Pura Luhur Lempuyang – Parkir 5k/Mobil.

4. Virgin Beach Karangasem – Tiket masuk 10k/Orang (Alternatif)

5. Pantai Candidasa (Nyunset disini aja) – Parkir 5k/Mobil

Malemnya balik

Total kasarnya semua 635k. Semua itu buat tempat wisata dan makan yang tercantum di list. Mau tambah tempat dan ditambah hal lain bisa. Tapi kisarannya gak jauh dari harga segitu untuk tempat wisatanya dan makanan khasnya.

Bali


Ah Bali lagi. Kenapa harus Bali? Mungkin banyak yang berpikir liburan ke Bali itu hal yang biasa, atau Bali kan sudah menjadi tujuan yang banyak didatangi wisatawan domestik maupun internasional. Dibalik itu semua, mungkin pertanyaan yang sebenarnya adalah, kenapa wisatawan ini terus datang lagi ke Bali? Apa yang menjadi daya tarik Bali? Masyakart, alam, makanan, bangunan, dan ah kayaknya semua di Bali bakal membuat kita balik lagi ke Bali.


Legian – yang berbahagia di kegelapan malam


Jadi, saya memutuskan untuk menginap di Legian. 6 orang, 360 ribu permalam, satu kamar, model asrama (kalo backpacker sendiri modelnya sharing room) dengan ranjang bertingkat, tepat di jantung Legian, hanya 100 meter dari Sky Garden dan Monumen Bom Bali. Nama hotelnya Taman Sari Resort Legian. Kalo mau nyari makan pagi bisa di Warung Indonesia yang menjual segala macam nasi ramesan, dan harganya sama seperti di warung – warung pinggir jalan alias warteg. Ya di Legian ini apalagi hiburannya kalo bukan nongkrong di sebuah bar, dengan alunan musik yang random, bisa EDM, classic rock, atau juga metal – metalan. Cukup memesan sebotol bir Bintang berukurang sedang, kita bisa nikmatin suasana Legian yang menyeruak di tengah keheningan malam Pulau Bali.


Desa Adat Panglipuran Bali – Keluhuran Adat Masyarakat Bali

Hari kedua, saya habiskan waktu untuk mengunjungi Desa Panglipuran di Bali. Aksesnya jauh juga yak, jadi rutenya Legian – Desa Panglipuran, hehe canda kan ada Google Maps. Anjing – anjing Kintamani menyambut kedatangan saya di parkiran. Desa ini merupakan sebuah desa yang rumah – rumahnya masih berbentuk khas Bali. Setiap kepala keluarga memiliki sertifikat atau bisa juga dibilang ijazah, atau kertas yang memberikan informasi soal kepala keluarga pemilik rumah. Kertas – kertas ini ditempel di bagian depan rumah, tepatnya di gapura sebelom kita masuk ke rumah tiap kepala keluarga. Model desanya memanjang dengan satu jalan utama di tengahnya, pendapatan masyarakat desa adat ini banyak didapat dari berjualan makanan dan minuman yang dijual ke turis – turis, atau ada juga yang berjualan cinderamata. Tapi, tidak menutup kemungkinan ada yang bekerja sebagai pegawai negeri, atau pegawai lainnya, penyesalan saya adalah saya tidak masuk ke salah satu rumah untuk bercengkerama lebih dekat, hanya berpapasan sambil berbincang sebentar dengan warga desa yang melintas yang kebanyakan nenek – nenek yang sangat ramah senyum. Banyak juga anak sekolah yang baru pulang, karena saya datang pas di jam mereka pulang sekolah.

Nusa Dua dan Uluwatu – Hamparan Tebing di Selatan Bali

Memulai perjalanan di pagi hari, melewati Tol Mandara Bali sambil ngeliat pemandangan laut didampingi proyek Tanjung Benoa yang menuai banyak pro – kontra, saya berangkat ke Gunung Payung, sebuah pantai baru yang masih dalam pembangunan menjadi objek wisata, saya nemu ini juga lewat surfing di social media, dan ini sangat worth it dimana pantainya masih bersih tanpa noda, menunggu entah kapan banyak wisatawan yang mengubah pantai ini, mengubah? Semoga tetap menjadi apa adanya. Dari parkiran kita harus turun ke pantai yang jaraknya lumayan, kalo turun sih masih enak, tapi kalo nanti balik ke parkiran kita harus dihadapkan dengan ratusan anak tangga yang bakal buat kita ngos – ngosan, untuk itu latihan fisik dibutuhkan sebelom kita backpackeran. Pantainya sendiri ya rasa pantai khas Bali, yang paling beda ini masih sepi.

Setelah dari Gunung Payung saya berangkat ke Uluwatu. Dan ini adalah bagian terbaik dari perjalanan ini, ketika saya pergi ke ujung Selatan Pulau Bali. Pura Luhur Uluwatu. Udah lama saya pingin kesini, eh tapi belom kesampean tapi yaudah, eh akhirnya bisa kesampean sekarang. Pinggiran tebing, deburan ombak, angin laut, dan terpaan cahaya matahari, perfecto. Monyet – monyet Uluwatu, yang sering nyolong Cheetos, Frestea, atau jagung punya anak – anak tidak saya anggap sebagai musuh melainkan sebuah pemandangan unik lainnya dari Uluwatu. Dan yang paling keren adalah ketika Sunset didampingi dengan pertunjukan Ramayana dan Tari Kecak. Terlihat bagaimana masyarakat di sekitar pura memanfaatkan sumber daya masyarakat sekitar untuk meraup pendapatan dari pariwisata tanpa melupakan keluhuran budaya lokal.


Pertunjukan Tari Kecak ini bisa dibilang magical, perpaduan keindahan Tari Kecak,keagungan drama Ramaya, serta antusias penonton mencipakan suasana yang bakal berkesan. Pertunjukkan drama nggak dibuat serius, interaksi pemain dan penonton dipadukan dengan candaan yang dilontarkan pemain terutama karakter Hanoman membuat penonton larut dalam pertunjukkan.


Ubud – Sembah Sujud di Kedamaian Ubud

Campuhan Ridge Walk

Awalnya saya gak ada niatan buat nginep di Ubud, tapi akhirnya saya terpaksa pindah karena mayoritas teman saya ingin merasakan suasana sunyi di Ubud. Hari pertama saya harus PP Ubud – Legian, dan di hari pertama saya ke Ubud saya memilih untuk tracking di Campuhan Ridge Walk. Campuhan Ridge Walk biasa digunakan sebagai tempat Photo Pre-Wedding atau masyarakat untuk berolahraga. Selama saya tracking menggunakan sandal jepit Fipper andalan, saya banyak bertemu orang – orang Jogging dan bolak balik ketika saya belom sampe di ujung. Ya meskipun saya gak terlalu capek, tapi apa yang saya lihat nafas mereka gak ada abisnya bung.


Ubud, hari ke-2

Hari kedua saya masih PP Legian – Ubud, dan kali ini tujuan saya adalah Sari Organik yang berada di jalan Subak Sok Wayah. Kesampingkan sensasi sunset pinggir sawah di Sari Organik. Saya lebih jatuh cinta pada suasana masyarakat di sekitar Subak Sok Wayah ini, senyum ramah yang dilemparkan tiap berpapasan di sempitnya jalan pinggiran sawah atau ketika saya mengabadikan kegiatan sehari – hari mereka di pinggir sawah dan interaksi antar penduduk membuat saya mengeksplor lebih jauh Subak Sok Wayah. Sempat mampir di beberapa sawah milik penduduk, dan istirahat sejenak di sebuah warung kopi bernama “Warung Kakek” saya merasa liburan kali ini semakin bermakna dengan mengenal masyarakat Bali lebih dekat.


Subak Sok Wayah sendiri merupakan sebuah jalan pedesaan yang cukup terkenal. Subak sendiri adalah organisasi kemasyarakatan yang khusus mengatur sistem pengairan sawah yang digunakan dalam cocok tanam padi di Bali, Indonesia. Subak ini biasanya memiliki pura yang dinamakan Pura Uluncarik, atau Pura Bedugul, yang khusus dibangun oleh para pemilik lahan dan petani yang diperuntukkan bagi dewi kemakmuran dan kesuburan dewi Sri. Sistem pengairan ini diatur oleh seorang pemuka adat yang juga adalah seorang petani di Bali.


Revolusi hijau telah menyebabkan perubahan pada sistem irigasi ini, dengan adanya varietas padi yang baru dan metode yang baru, para petani harus menanam padi sesering mungkin, dengan mengabaikan kebutuhan petani lainnya. Ini sangatlah berbeda dengan sistem Subak, di mana kebutuhan seluruh petani lebih diutamakan. Metode yang baru pada revolusi hijau menghasilkan pada awalnya hasil yang melimpah, tetapi kemudian diikuti dengan kendala-kendala seperti kekurangan air, hama dan polusi akibat pestisida baik di tanah maupun di air. Akhirnya ditemukan bahwa sistem pengairan sawah secara tradisional sangatlah efektif untuk menanggulangi kendala ini. (Wikipedia)


Ubud, hari ke-3

Hari berikutnya, yang adalah hari terakhir, kita memutuskan untuk menikmati Ubud lebih dalam dan memilih bermalam di Ubud. Nama hotelnya adalah Arjuna Homestay Ubud. Perorang dibanderol 85 ribu dengan fasilitas Wifi, kipas, kamar mandi, kamar yang bersih, dan breakfast yang cukup buat perut orang Indonesia tahan sampe siang karena menu yang disediakan bukan nasi melainkan hanya roti panggang dengan telur ditengahnya. Sore hari di Ubud saya mencoba menikmati Coffee Shop yang bisa dibilang cukup terkenal, namanya Seniman Kopi. Harganya bisa dibilang cukup mahal kalo dibandingkan dengan di Jogja, dimana percangkir dibanderol 42 ribu, ditambah 10% tax dan 6% service. Ya tapi pelayanan dan kopi yang disajikan bisa dibilang memuaskan untuk pecinta kopi.



Dan kalo di Ubud jangan lupa buat jalan - jalan keliling, saya sih prefer jalan kaki kalo masih bisa dijangkau. Sehari 3 - 4km sambil liat dinamika keunikan masyarakat di Ubud cukup memanjakan mata. Mulai dari yang main bola di tengah lapangan di pusat kota ubud, monyet yang makan gelato, sampe orang - orang yang menjajakan oleh - oleh pernak pernik dan kaos khas Bali yang berjejer di pinggir jalan bisa kita liat.


Keesokan harinya, waktunya balik ke Pulau Jawa. Dan ada beberapa kesan tambahan dari kota Mojokerto yang saya singgahi. Di Mojokerto ini merupakan sebuah kota Jawa Timuran sekali dengan suasana khas Jawa Timur. Dan menariknya buat saya, di tiap sudut Mojokerto ini menyajikan musik dangdut yang membuat tangan dan badan saya beranjak ingin ikut bergoyang. Di mall, kedai kopi, warung pinggir jalan, bahkan ketika saya sedang berada di WC umum. Semua ditemani alunan musik khas Pantura, ahhh rasanya ingin menjelajahi pinggiran kota ini, melihat masyarakatnya yang sangat ter-influence dengan musik dangdut Pantura.


Note: 85% foto diatas diambil menggunakan kamera analog Nikon L35AD2 dan Canonet QL 17, jadi beberapa ada yang tajem itu pake mirrorless dan terutama untuk kondisi low light bakal keliatan jelas perbedaannya.


Sekian cerita Liburan Folk no Indie saya, se-Folk suasana Folk Music Festival yang menghadirkan Jason Ranti di sela – selanya, hah? Sela – sela? Selangkangan? Ahhh entahlah, biar saya lanjutkan alunan tembang Jason Ranti berpadu dengan Ari Reda yang dilanjut dengan alunan classic rock dari Firehouse yang berjudul Here For You yang menutup cerita malam ini.

Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk membaca cerita perjalanan ini dan semoga menginspirasi untuk lebih mencintai Indonesia. Sampai jumpa di Travel Journal selanjutnya :)

KEEP VISITING AND EXPLORING INDONESIA

Yogyakarta, 1 Agustus 2017

Stefanus Anom Parikesit

コメント


featured posts

search by  categories

Follow me

  • Black Twitter Icon
  • Black Facebook Icon
  • Black Google+ Icon
  • Black Instagram Icon

visitor reach

Jangan Lewatkan Tulisan-Tulisan Menarik Lainnya.

Subscribe Sekarang!!!

bottom of page