Pawai Ogoh - Ogoh: Semarakan Malioboro Menjelang Nyepi
- Anom Parikesit
- Apr 3, 2017
- 3 min read

Pawai Ogoh - Ogoh ini dilaksanakan menjelang hari perayaan Nyepi Tahun Baru Caka 1939. Pawai ini diadakan pada 25 Maret 2017 di Jalan Malioboro, start mulai dari Gedung Kantor DPRD Yogyakarta dan finish di Alun - Alun Utara. Pawai ini nggak hanya dihadiri oleh komunitas Hindu yang ada di Jogja, tetapi juga dari berbagai kalangan. Misalnya dari Mudika ( muda mudi Katolik) Gereja Baciro, dari desa - desa di wilayah Yogyakarta yang tiap tahunnya selalu menyumbangkan Ogoh - Ogoh selama pawai berlangsung, sponsor yang ikut meramaikan acara dengan turut membuat Ogoh - Ogoh dan perwakilan komunitas masyarakat Cina yang memamerkan pawai Liong atau naga seperti pada perayaan Imlek.


Ogoh - Ogoh sendiri adalah karya seni patung dalam kebudayaan Bali yang menggambarkan kepribadian Bhuta Kala. Dalam ajaran Hindu Dharma, Bhuta Kala merepresentasikan kekuatan (Bhu) alam semesta dan waktu (Kala) yang tak terukur dan tak terbantahkan. Dalam perwujudan patung, Bhuta Kala digambarkan sebagai sosok yang besar dan menakutkan; biasanya dalam wujud Rakshasa. Selain wujud Rakshasa, Ogoh - Ogoh sering pula digambarkan dalam wujud makhluk-makhluk yang hidup di Mayapada, Syurga dan Naraka. Dalam kebudayaan masyarakat Bali biasanya setelah dipawaikan Ogoh - Ogoh akan diarak sekali lagi dan dibakar sepagai perlambang pengusir roh jahat dan nasib buruk di tahun yang baru.


Selain itu beberapa Ogoh - Ogoh yang mengikuti pawai juga didampingi oleh para penari. Para penari ini tak henti - hentinya menari dan menghibur masyarakat Jogja di tengah gerimisnya hujan. Tak cuma penari, bahkan para pengiring musikpun rela mengiringi pawai Ogoh - Ogoh ini ditengah gerimisnya langit Jogja. Salah satu pawai mengarak Ogoh - Ogoh berbentuk semut diiringi beberapa penari yang terlihat sedikit 'centil' dalam setiap tariannya. Hal ini membuat banyak penonton tertawa geli melihatnya. Ditambah suara pengiring dari sound system dan narator membuat suasana semakin heboh dan meriah di tengah guyuran hujan.

Ini adalah pawai ogoh - ogoh yang berada di barisan paling belakang. Kalo dilihat dari cirinya, mereka merupakan kumpulan dari masyarakat keturunan India. Sepanjang pawai yang berdurasi kurang lebih 2 jam mereka menyanyikan lagu yang liriknya hanya diulang ulang, yang ternyata adalah MAHA MANTRA berjudul Hare Krishna, Hare Rama. Pawai ini menarik sebuah kereta yang dinamakan Kereta Sri Jagannath dengan ornamen khas India dan terpajang sebuah foto yang sepertinya adalah seorang 'Maha Guru'. Kereta ditarik oleh pria, wanita, bahkan anak-anak sambil diiringi para wanita menari menggunakan kain sari. Dan beberapa orang membagikan buah jeruk kepada para penonton yang melambangkan keberkahan.
Warga yang menyaksikan pun antusias ketika iring - iringan pawai lewat di depan mereka. Mereka yang datang menonton tidak hanya orang dewasa namun juga anak anak. Tidak sedikit dari mereka yang nekat untuk selfie bersama para penari dan Ogoh - Ogoh yang sedang diarak. Bahkan ada beberapa orang yang Live Instagram. Hampir semua orang yang menyaksikan pawai ini mengabadikan momen tersebut menggunakan alat yang mereka bawa, entah itu Handphone, Handycam, hingga Kamera. Semua larut dalam kemeriahan pawai Ogoh - Ogoh ini.



Pawai ini tidak hanya menyuarakan mengenai bagaimana keberagaman yang ada di Indonesia tapi juga kepada rasa toleransi yang tercipta dari kehidupan beragama yang ada di Indonesia.
Ratusan kilometer dari Jakarta ketika berbagai isu SARA tersebar mewarnai Pilkada yang berlangsung, Jogja justru mewarnai keberagaman yang ada di wilayah Jogja dengan sebuah pawai budaya yang dinikmati bersama oleh semua kalangan. Bahkan tidak hanya diikuti masyarakat yang merayakan Nyepi saja namun juga seluruh masyarakat yang ingin berkontribusi dalam pawai ini. Membuktikan bahwa Indonesia pada dasarnya tercipta dari keberagaman SARA yang ada di dalamnya.
Sampai jumpa di Travel Journal berikutnya :)
KEEP VISITING AND EXPLORING INDONESIA
Yogyakarta, 3 April 2017
Stefanus Anom Parikesit
Comments