Kampung Ketandan: Potret Ke-Bhinekaan di Era Nenek Moyang.
- Anom Parikesit
- Mar 16, 2017
- 4 min read

BANYAK ORANG CINA DI KETANDAN!!!!!
Mungkin sepenggal kalimat diatas bisa mewakili perspektif segelintir orang yang masih mengalami 'shock' ketika di era yang modern ini bertemu dengan banyaknya etnis Tionghoa di Indonesia. Beberapa orang menganggap bahwa etnis berkulit kuning ini merupakan pendatang dan tidak sepantasnya mendapatkan hak yang sama dengan 'mereka' yang notabene asli Indonesia.
Sepenggal tulisan ini terinspirasi ketika saya didatangi segelintir pemuda yang sedang mengerjakan tugas lapangan mengenai ke-bhinekaan dan mereka menanyakan mengenai hal yang cukup mendasar namun sangat konkrit dengan isu - isu yang sedang marak di Tanah Air tercinta ini,
"Bagaimana festival kebudayaan Tionghoa ini dapat mempengaruhi etnis Tionghoa yang ada di Ketandan dan dampaknya bagi kehidupan berbangsa yang ada di Indonesia?"
Pertanyaan ini tidak akan dijawab menggunakan opini politik sebagai orang awam, namun saya akan sedikit menjawabnya dalam perspektif mahasiswa S1 Arkeologi kentrang kentrung dan seorang Traveller sejati.

Kampung Ketandan merupakan sebuah pecinan yang terletak di pusat kota Yogyakarta, tepatnya di jalan Malioboro. Kampung ini terkenal dengan festival kebudayaannya yang selalu diperingati tiap tahun. Mulai dari Imlek hingga menjelang Cap Go Meh.
Merunut kembali sejarah, 2200 tahun hubungan bangsa Cina dengan Asia Tenggara khususnya Indonesia telah dicatat dalam catatan Dinasti Han pada 131 SM, dimana telah ada hubungan dengan Javadwipa (Jawa) dan pada abad 5 Fa Hien melakukan perjalanan ke Jawa lalu pada abad 7 I Tsing melakukan perjalanan ke Sriwijaya hingga pada akhirnya kedatangan Laksamana Cheng Ho ke Semarang pada awal abad 15. Melihat dari sejarah ini eksistensi bangsa Cina di Indonesia dapat dikatakan sudah ada sejak lama, bahkan interaksi yang sangat kuat dengan nenek moyang kita. Maka sangat disayangan apabila ada segelintir orang yang menilai bangsa Cina sebagai 'pendatang' pasalnya keberadaan mereka sudah menjadi bagian dari sejarah perkembangan bangsa Indonesia.

Di Kampung Ketandan ini kita tidak hanya menemui etnis Tionghoa saja, namun banyak pengunjung yang ingin mengenal dan lebih mengerti mengenai kebudayaan Tionghoa. Antusiasme pengunjung dapat dilihat dari selalu padatnya kantong - kantong parkir yang ada di sekitar Ketandan dan Jalan Malioboro serta sesaknya jalanan yang ada di kampung ini.

Tidak hanya menyajikan kebudayaan Tionghoa, tapi banyak juga makanan khas maupun jajanan yang identik dengan orang Tionghoa. Makanya, jangan heran kalo ketika sampe disini banyak makanan olahan daging babi yang dijual karena babi sudah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari makanan orang Tionghoa. Seperti contoh diatas merupakan sate babi yang banyak dijual selama festival berlangsung. Namun, yang berjualan disini tidak hanya etnis Tionghoa tapi juga banyak masyarakat pribumi yang mencari kesempatan meraup keuntungan dengan berjualan makanan dan jajanan yang menarik selama perayaan berlangsung, hal ini membuktikan bahwa festival ini tidak hanya untuk kalangan tertentu namun terbuka bagi seluruh masyarakat.

Di festival ini juga ada sebuah hal yang menarik dan baru buat saya, Ramal Tarot. Banyak orang yang rela ngantri untuk diramal mengenai masa depan mereka oleh beberapa peramal dan terlihat tempat ramalannya juga etnik abis, terkesan bangunan Cina tua yang ada di pinggiran kota juga terlihat duduk ibu - ibu penjaga tempat ramalan tarot ini. Bagi sebagian orang, mengetahui masa depan sedari sekarang menjadi sebuah hal yang sangat menarik, mengapa harus menyimpang rahasia di masa depan ketika kita bisa mengetahuinya dan mempersiapkannya sedari sekarang. Mungkin sebagian orang berpikir seperti itu, tetapi buat saya hidup itu sama halnya dengan 'Travelling' kita hanya dapat membayangkan keindahan apa yang akan menanti kita, bahkan sebuah hal yang mengerikan tetapi buat saya biarlah hidup ini menyimpan rahasianya sendiri dan kita percaya bahwa apa yang kita jalani Tuhan bersama orang - orang berani dan berusaha.

Dan ini sebuah pertunjukkan yang paling menarik, yaitu Wayang Boneka. Saya nggatau harus menamainya apa tapi okelah apabila dibilang Wayang Boneka. Karena bisa dilihat ada sebuah tempat pertunjukkan penuh hiasan nuansa Imlek dan ditengahnya nanti ada adegan boneka kayak wayang dengan dalangnya ada dibawahnya. Dari pertunjukkan ini saya sedikit meng-interpretasikan bahwa inilah awal mula wayang yang ada di Indonesia, menggunakan dasar pola pertunjukkan yang sama dan tiba lebih dulu di Nusantara hal ini bisa menjadi cikal bakal adanya wayang kulit di Indonesia sebelum pada akhirnya menjadi salah satu kebudayaan asli Indonesia (re: wayang kulit). Menurut temen saya yang merupakan orang Cina, dulu pertunjukkan boneka ini masih menggunakan bahasa Cina tidak seperti sekarang yang menggunakan bahasa Indonesia cenderung medok ke-Jawa Jawa an yah. Tapi pertunjukkan ini menarik karena membawakan lakon mengenai kehidupan sehari - hari yang ada di tengah masyarakat Tionghoa dan pribumi.

Lelah jalan muter - muter Kampung Ketandan saya mencoba singgah di sebuah gerai makan yang menjual makanan khas Tionghoa. Yak, tidak lain dan bukan, and nothing else matter terbaik dari yang terbaik dan terfavorit adalah nasi campur babi. Nasi Hainan berpadu sate babi dengan telur dan potongan besar daging babi yang diolah dengan beberapa metode sangat menggoda meskipun harganya bisa dibilang cukup mahal. Dan nasi campur ini menjadi penutup edisi jalan jalan saya di Festival Kebudayaan Tionghoa Ketandan ini.
Lalu kembali ke pertanyaan di awal, apakah festival ini berpengaruh bagi kehidupan berbangsa di Indonesia? Tentu saja, selain dari segi budaya dapat mewarisi apa yang ditinggalkan masyarakat Cina sejak hubungannya dengan Indonesia selama 2200 tahun juga menjadi wadah kreasi masyarakat Kampung Ketandan dan masyarakat sekitar dan pada umumnya warga Yogyakarta sehingga membuktikan bahwa orang - orang Tionghoa sudah menjadi bagian dari peradaban Indonesia sejak jaman nenek moyang dulu. Sekian catatan perjalanan yang gak jauh - jauh amat dari kosan tapi memberikan pengaruh yang besar bagi saya dan tentunya masyarakat Indonesia.
KEEP VISITING AND EXPLORING INDONESIA
Yogyakarta, 17 Maret 2017
Stefanus Anom Parikesit
Comments